Dua Roman ini ; Siti Nurbaya karya Marah Rusli dan Tenggelam Kapal Van der wijk karya Hamka. Keduanya mengisahkan penderitaan wanita dizamannya.
Wanita-wanita tersebut merupakan korban kondisi konstruksi sosial tempatnya menjalani hidup. Kedua wanita tersebut tidak berdaya mewujudkan pilihan hidupnya. Siti Nurbaya dan Hayati harus rela menjalani kehidupan dengan laki-laki yang tidak dicintainya. Dan pada akhirnya mereka meninggalkan cinta yang kandas.
Kedua Roman ini ditulis pada awal 1930-an dengan latar kondisi sosial budaya masyarakat Nagari Minangkabau dan juga ditulis oleh Putera Minang.
Suku yang dikenal menganut sistim matrialineal yang sangat kuat tetap tidak bisa lepas dari isu feminimisme.
Atau memang sistim matriakat tidak segaris dengan feminimisme?.
——————————————————–
#SITI
Siti, perempuan sepuh itu wajahnya kuyu saat menunggu suaminya terbujur lemas di pondokan Haji dekat ka’bah. Ia bingung karena harus meninggalkan suaminya untuk melaksanakan sa’i. Dalam suasana haru, sang suami berucap tegas: “Buk, kau gak usah sa’i, tungguilah aku di sini. aku pemimpin keluarga, kau wajib mematuhinya”. Didera dilema, sang istri menjawab: “Aku tak pernah meragukan konsep itu pak. Tapi coba Bapak pecahkan dilema saya. Di satu sisi, saya punya kewajiban mematuhimu, di sisi lain saya juga wajib mematuhi ‘panggilan’ tuhan. Karena kita di sini memang untuk menenuhi panggilan-Nya”. Suasana hening, sang suami menteskan air mata.
Di hari pernikahan putrinya, raut muka #Siti sumringah. Namun ini tak bertahan lama. Pasalnya, Ustadz yang didaulat berbicara untuk memberi nasehat pernikahan mengutip hadist-hadist yang menyudutkan perempuan (baca: misoginis). Sang Ibu sontak ngedumel mendengarnya, sesaat selesai acara, ia mendatangi sang Ustadz dan menyemprotnya: “Pak Ustadz, Apa gak ada hadis-hadis yang memuji perempuan, selain yang ‘nrimo wae’ . Saya ngak terima. Emangnya jadi perempuan itu mudah”. Sang Ustadz terdiam. Senyap.
Seorang kontributor TV lokal mewawancarai #Siti saat demonstrasi penolakan pembukaan hutan lindung untuk lahan perkebunan kelapa sawit bertanya padanya: “Apakah ibu pernah dilibatkan dengan gerakan feminisme oleh para aktivis LSM?”. Ia tampak bingung dan lalu dengan enteng menjawab: “Apa itu feminisme?, saya tak pernah dengar”. Sang reporter terdiam.
Al-Albana, Legian Agustus 2016