Selain mudah terkesima, kita juga rupanya gampang menghina dan mencaci maki. Sumpah dan serapah seakan setarikan napas dengan puji dan puja. Seolah olah caci-maki adalah sinonim dari puja-puji
Kita tak lagi memuja, tapi menghina dengan sedemikian gesitnya. Inilah yang menurut saya membuat pemahaman bahwa menghina dan memuja bukanlah hal yang berlawanan. Justru, itu seumpama siklus, juga tahapan. Siapa yang dipuji, kelak juga akan dihina. Siapa yang dihina, kelak akan dipuji. Sebagaimana halnya siklus. Ini hanya tahapan demi tahapan. Ini hanya menunggu giliran. Gampang sekali melihat ini. Tolehlah pada demokrasi periodik kita. Ada banyak waktu yang kita habiskan untuk menghina dan caci maki para pejabat yang terpilih. Kemudian puji dan puja dialamat kepada mereka setelah tak berkuasa.
Kita mendadak amnesia bahwa sebelumnya kitalah yang memuja-muja mereka. Kitalah yang menempatkan mereka pada singgasananya yang megah itu. Bahkan, nanti, setelah musim pemilu tiba, manakala pejabat-pejabat terpilih itu datang dan berencana memperpanjang jabatan lagi, kita yang dulu menghina-hina akan balik memuja-muja. Mereka langsung menjadi pahlawan. Mereka langsung menjadi raja. Setiap kata-kata yang berasal dari mereka menjadi janji dan sabda.
Cobalah, kalau ada kesempatan bertanya kepada mantan-mantan, eits, maksud saya mantan pemimpin kita, kalau bertanya kepada Soeoharto dan Soekarno adalah kemustahilan, sekurangya coba tanya kepada Es Be ye atau Antasari Azhar.