Catur Kubu

Hiruk pikuk ‘tahunan’ setiap September kali memperlihatkan tensi yang lebih tinggi dari September-september sebelumnya. Maklum semakin mendekati Pilres 2019.

Dari pengamatan media sosial setidak ada empat kelompok dalam merespon ‘Kebangkitan PKI’.

●KUBU PARANOID. Mereka adalah orang-orang yang cemas PKI bangkit kembali. Mereka ini kubu nasionalis yang suka was-was dan muslim yang trauma akibat intimidasi dan provokasi PKI sebelum terjadi prahara 30 S 1965. Ada kemungkinan ini kubu yang tidak cukup bisa membedakan antara PKI, Marxis, Komunisme, Sosialisme dan Atheisme, bahkan Palu Arit. Mungkin juga belum tahu kalau bahwa Komunis, Komunisme, Komunitas, Komunal berasal dari kata dasar yang sama. Jika tidak mereka politisi yang sedang ‘menangguk di air keruh’. Jika membahas terosisme berbasis agama mereka akan percaya sama teori konspirasi dan menolak hasil investigasi polisi. Tapi saat membahas tragedi 65, mereka percaya sama versi jubir, setidaknya terlihat seperti setneg Orde Baru, mirip-mirip Harmoko. Lupa segala macam teori konspirasi. Amnesia jika dikolong bumi ada CIA, KGB, Mossad dan lainnya.

●KUBU WOLOES. Mereka ini santai. Mereka tak percaya komunisme bisa bangkit. Bukan berarti pula mereka pro komunis. Mereka ini cuma melihat bahwa ideologi Mbah KH. Mark (Karl Heindrich bukan Kyai Haji) ; masyarakat tanpa kelas~sama rata sama rasa~hanya utopia, yang sudah tidak laku dan relevan. Palingan ideologi ini laku dijual kepada kepada penghuni Rumah Sakit Jiwa atau orang-orang malas yang tidak mau berkompetisi. Coba cerna ide Eyang Mark ini, kira-kira dalam bahasa Timbuktu seperti ini “from each according to his ability, to each according to need” ~setiap orang akan memberikan sesuai kemampuannya, dan setiap orang menerima sesuai kebutuhannya. Sederhananya begini ; anda Ph.D lulusan Massachussets University Teknology dengan kamampuan setingkat di bawah Elon Mask tapi hanya punya anak satu atau jomblo jangan mimpi mengharapkan gaji lebih besar dari Lamijo-buruh tukang bersihkan gorong-gorong dengan anak tujuh.

●KUBU KIRI TAPI TAK BERANI KERE. Mereka ini merasa keren dan kritis karena melawan arus, anti mainstreem istilah kekiniannya. Jelas pro komunis. Mereka masih terbius sihir oleh masyarakat tanpa kelas seperti mimpi Mbah Mark,mereka masih berhalusinasi akan datang masa kehidupan di dunia sama rata sama rasa, sebaiknya jika ketemu orang seperti ini tlong ingatkan bahwa mereka mengingkari takdir Allah karena selama hidup di dunia pasti ada kaya-miskin, senang-susah, majikan-anak buah, raja-kuwala. Orang-orang ini adalah kubu yang sok-sokan jadi komunis tapi mereka menikmati kebebasan berbicara dan berekspresi yang disediakan kapitalisme dan liberalisme. Coba hidup di negara Kim Jong Un, mereka pikir masih bisa ‘cuap-cuap’ seperti ini. Bagi mereka Eyang Harto pokoke jahat habis tidak menyisakan kebaikan sebesar upil pun. Mereka pikir yang melakukan pembangunan selama 32 tahun siapa?, kolaborasi Nyi Roro Kidul dengan Bandung Bondowoso?. Ombrolan mereka konsep-konsep ideologi kiri’ tapi pola konsumsi dan lifestyle ‘kanan’. Lihat saja tentengannya Iphone 8, nongkrongnya cafe dan Resto ‘Mamarika dan Wahyudi’ . Simbol-simbol Kapitalis. Ngaku ‘kiri’ tapi tak berani kere.

●KUBU MASA BODO. Mereka ini tidak peduli komunis mau bangkit atau nyungsep. Bodo amat. Mereka nggak peduli apa yang terjadi pada negara, wacana-wacana apa yang sliweran. Hal-hal paling serius yang bisa mereka lakukan cukup mengunggah photo-photo di tempat liburan kekinian dan cafe atau resto instagramble sekali-kali membagikan petuah Pak Mario, upss salah Kak Darwis, iya itu Tere Liye. Mereka inilah orang-orang yang bahagia di jagat maya.

Kalau saya memang ‘komunis’ tapi dalam ruang lingkup yang paling kecil yaitu ‘Rumah Tangga’. Bagi kami tidak ada milik pribadi semua milik bersama. Saya memberikan konstribusi (bekerja) untuk keluarga, sedangkan anak dan isteri mendapatkan sesuai kebutuhannya.

Kategori Esai, Telaah

Tinggalkan komentar