Meski pun sudah tidak tegulung gelombang arus mudik, bukan berarti tidak turut serta memikirkan hal ini.
Saat orang-orang bermacet-macetan menempuh perjalanan panjang menuju kampung halaman baik menempuh perjalan darat yang berdebu, lewat laut menghadang gelombang atau via udara yang tergolong nyaman. Sudah bayak para ahli yang memikirkan arus mudik memberikan saran dan petunjuk agar lancar dan nyaman terhindar dari kecelakaan namun lupa akan arus balik.
Nah untuk itulah saya membalik lembar demi lembar novel setebal 760 halaman ini.
——
Semasa jayanya Majapahit, Nusantara merupakan kesatuan maritim dan kerjaan laut terbesar diantara bangsa beradab di muka bumi.
Arus bergerak dari selatan ke utara, segalanya; kapal-kapalnya, manusianya, amal perbuatannya dan cita-citanya, semua bergerak dari Nusantara di Selatan ke ‘Atas Angin’ di utara.
Tetapi zaman berubah….
Arus Balik-Bukan lagi dari selatan ke utara tapi sebaliknya dari utara(Eropa-Barat) ke selatan (Asia). Eropa kuasai Asia sampai ke Nusantara. Mengurai dan mencerabut urat nadi kehidupan nusantara. Perpecahan dan kekalahan demi kekalahan seakan menjadi bagian dari nusantara yang beruntun tiada henti.
Wiranggaleng-pemuda desa sederhana, menjadi tokoh protagonis dalam epos kepahlawanan yang maha dahsyat ini. Dia bertarung sampai ke pusat kekuasaan Portugis di Malaka, memberikan segalanya, walau hanya secauk pasir sekalipun untuk membendung arus dari utara (Barat-Eropa).
Pada masa sekarang ini, hampir segala sendi kehidupan kita sudah dikuasai oleh negeri ‘atas angin’ (asing dan aseng) masih dapatkah Arus Balik membalik lagi guna menghadang hegemoni negeri ‘Atas Angin’.
Siapakah Wiranggaleng kita saat ini?