Ranah Tiga Warna Membangkitkan Luka Lama

Menemukan buku ini-Ranah 3 Warna, buku kedua dari trilogi Ahmad Fuadi-dan beberapa buku lain pada tumpukan barang-barang bekas di garasi membuat hati miris seperti teriris-iris sembilu lalu di asami dengan jeruk nipis.
Saya membersihkan Buku ini dan beberapa lainnya masih bisa terselamatkan dan menggabungkannya dengan buku-buku lainnya.

Beberapa bagian buku telah dimakan rayap namun tidak mengenai bagian tulisan

Beberapa bagian dari buku telah dimakan rayap

Dulu ketika masih tinggal di Jakarta, saya sering membawa buku-buku yang telah dibaca pulang ke Padang, selain untuk mengalihkan rasa takut dan kebosanan selama dalam perjalanan di Pesawat, juga agar buku-buku tersebut menginspirasi keponakan yang ada di Padang dan Pariaman. Saya tidak tahu buku-buku itu dibaca atau tidak, yang pasti sebagian besar sudah hilang. Terutama novel-novel populer bergenre pembangunan jiwa seperti karya; Andrea Hirata, Ahmad Fuadi, Habiburahman El Sharazy dan Sastra poluler lainnya. Namun untuk novel sastra serius seperti Ayu Utami, Dewi Lestari, Paolo Coelho, Seno Gumira Adi Darma, Hamsad Rangkuti, Jenar Masayu dan lainnya tak pernah. Novel-novel seperti itu selalu saya simpan dan rawat dengan baik, kadang saya baca ulang kembali. Lagi pula bacaan seperti itu kurang cocok untuk anak yang masih usia sekolah, hanya akan menimpulkan sikap skeptis terhadap segala kesemberautan dunia ini.

Beberapa hari belakangan ini, malam sebelum tidur-selepas isya-sambil menemani anak belajar saya membaca buku ini kembali . Pada buku kedua ini-Ranah Tiga Warna-Ahmad Fuadi menceritakan perjuangan ‘berdarah-darah‘ Alif Fikri agar lulus di Perguruan Tinggi Negeri melalui jalur UMPTN (sekarang bernama SNPTN).

Kedua orang tua Alif yang mempunyai harapan masing-masing tentang masa depan anaknya-Alif; Amak-ibunya menginginkan Alif seperti Hamka ; mendalami ilmu agama (Islam) tapi menguasai ilmu yang bersifat keduniaan lainnya. Sedangkan ayahnya justeru sebaliknya menginginkan Alif seperti Hatta, pendidikan umum (sekuler) namun memiliki pemahaman yang mendalam tentang agama (Islam) sehingga segala yang dilakukannya berlandaskan kepada nilai-nilai agama (Islam). Alif berhasil menemukan titik temu diantara keinginan kedua orang tua yang berbeda. Selepas MTsN ia memenuhi harapan amaknya untuk menuntut ilmu agama ke Pondok Madani, pesantren yang paling tersohor sejak dahulu hingga hari ini yang terletak di Gontor-Ponorogo. Alumninya tersebar hingga mancanegara dengan aneka macam profesi ; pendakwah, jurnalis, diplomat, pengusaha bahkan politisi yang sering mondar-mandir di televisi.

Empat tahun di Pondok Madani dijalaninya dengan penuh suka dan duka (Kisah ini diceritakan Ahmad Fuadi dalam buku pertama : Negeri 5 Menara), namun keinginan Alif untuk sekolah umum (sekuler) tak pernah sirna. Ia tetap menyimpan harapan kelak bisa kuliah di ITB. Ingin menjadi ahli Pesawat Terbang seperti Habibie, apalagi Randai-Konco Arek Lawan Kareh-sering memanas-manasinya dengan kisah tentang betapa menyenangkan melewati pendidikan di sekolah umum (sekuler), bisa berinteraksi dengan lawan jenis, yang semua itu tak didapatkannya selama ini di Pondok Madani.

Bagaimana mungkin bisa lulus UMPTN (SNPTN) agar bisa kuliah di PTN ?, jangankan tamatan pesantren, tamatan STM, SMEA atau SMKK dan sekolah kejuruann lainnya sedikit sekali yang lulus UMPTN. “Mimpi kali ye” seperti iklan Rokok di televisi, barangkali seperti itu ‘cimeeh’ Randai kepadanya.

Begini Boys, setidaknya ada enam hal yang membuat Alif Fikri-seorang Alumni Pondok Pesantren-berhasil diterima di Jurusan Hubungan Internasional Universitas Padjajaran melalui jalur UMPTN ;

(1) Jika gagal UMPTN, jalan hidupnya tak lebih dari seorang guru mengaji di surau-surau pinggir Danau Maninjau. Bayangan kurang ideal inilah yang membuat ia takut dan semakin giat belajar. Mengumpulkan buku-buku pelajaran SMA berupa pelajaran Fisika, Matematika, Biologi yang tak pernah didapatkannya di Pondok Mandani, Gontor. Ia mengurung diri di Kamar dengan tumpukan buku.

(2) Man Jadda Wa Jadda, mantera yang didapatkannya di Pondok Madani yang diyakini dan terus-menerus diulang-ulangnya.

(3) ‘Cimeeh’ (semacam merendahkan dalam Bahasa Minang) Randai-sahabatnya yang telah diterima di ITB pada tahun lalu-semakin melecutnya untuk membuktikan bahwa seorang alumni pesantren bisa lulus UMPTN (SNPTN) sama seperti Randai yang tamatan SMA.

(4) Selanjutnya ia sadar bahwa seseorang dengan kemampuan akademis yang biasa-biasa saja kecuali seni kaligrafi dan Bahasa (Inggris dan Arab), maka dari itu ia harus melipat-gandakan usaha untuk berhasil jika dibanding siswa berprestasi lainnya. Apalagi ia hanya tamatan pesantren yang berebut bangku perguruan tinggi dengan puluhan bahkan ratusan ribu pelajar SMA yang secara akademis lebih menguasai materi-materi yang akan diujikan pada UMPTN(SNPTN).

(5) Alif juga realistis. Sebagai pengagum Habibie, semula cita-citanya masuk ITB jurusan Teknik Penerbangan. Namun ia sadar secara akademis kompetensinya tidak cukup, persaingan sangat ketat untuk jurusan ini. Pada saat yang sama ia menyadari kompetensinya dalam bidang Bahasa termasuk kemahirannya dalam berpidato. Itulah sebabya ia mengisi formulir UMPTN untuk Jurusan Hubungan Internasional Universitas Padjajaran. Awalnya ia silau terhadap apa yang dianggap orang lain keren dan gagah namun pada tahap selanjutnya ia sadar bahwa yang paling keren dan gagah adalah mengoptimalkan potensi yang ada dalam diri sendiri.

(6) Do’a dan dukungan dari; amak dan ayah-kedua orang tua Alif. Kesuksesan tidak berawal dari nol. Semua orang berutang kepada orang tua dan lingkungan sekelilingnya.

Boys! Kau lihat pohon yang paling tinggi di hutan! Pohon ek, menjadi paling tinggi di hutan bukan serta-merta karena ia bawaan bibit atau paling gigih untuk menjadi tinggi. Pohon ek menjadi tinggi karena “kebetulan” tidak ada pohon lain yang menghalagi sinar matahari kepadanya, tanah sekelilingnya dalam dan subur, tidak ada tikus atau babi hutan yang mengegogoti kulit kayunya ketika masih kecil, dan tidak ada Blandong yang menebangnya sewaktu kecil. Mustahil pohon ek menjulang tinggi jika tumbuh di dinding batu cadas atau sawah. Saya harap kau paham dengan analogi ini.

Membaca kisah ini, membangkitkan luka lama yang pernah saya alami 23 tahun silam, berselang 3 tahun dari setting kisah ini.

Boys, saya juga punya cita-cita kuliah di PTN. Meski tidak semuluk Alif Fikri yang ingin jadi ahli Pesawat Terbang, kuliah di Kampus dengan gapura patung Ganesha itu. Sederhana saja, awalnya saya ingin kuliah di UGM, alasannya ingin belajar kepada Amien Rais, yang beberapa kali tulisannya pernah saya baca di Panji Masyarakat. Namun mengukur kemampuan otak dan kemampuan keuangan orang tua rencana itu beralih ketika kelas 3 SMA kami dari sekolah berkunjung ke Universitas Andalas. Kampus yang terletak di Limau Manih. Di bebukitan dengan udara yang sejuk. Gedung-Gedung dengan desain Art Deco berwarna abu-abu. Jarak antar gedung yang lumayan jauh dengan topografi bertingkat-tingkat. Gedung satu dan lainnya terpisah oleh lereng-lereng dan bebukitan yang ditanami oleh pinus berjejer secara rapi yang menjulang tinggi membuat saya semakin terpesona sore itu. Saya membayangkan diri sebagai mahasiswa yang membaca sambil rebahan di rerumputan di bawah pohon pinus yang tumbuh di lereng-lereng bukit.

Harapan itu sirna ketika pada sebuah sabtu pagi kelabu 29 juli 1995. Malamnya saya menginap di rumah Ungku Aciak di Tarandam. Pagi saat sarapan, koran datang. Kami keluar dan membuka halaman koran di teras. Diantara ribuan nomor yang dituliskan di Harian Singgalang, tak satupun nomor peserta ujian UMPTN-ku tertulis disana. Setelah ulang beberapa kali dengan mengurutkan nomor lebih teliti, tetap nihil. Saya lemas tak berdaya. Dunia terasa sempit dan gelap. Belajar secara marathon sejak lebih dari setahun belakangan dan bimbingan belajar di Adzkia hampir dua bulan dengan berkali-kali tray out terasa sia-sia. “Masuak Fakultas Teknik barek persaigannyo, cubo masuk Ekonomi atau Sospol lulus ang mah” Ungku Aciak menyela, namun tak saya hiraukan lagi.

Pada tahun selanjutnya 1996, saya ulangi lagi dengan persiapan yang lebih matang. Dengan beberapa buku yang berisi kumpulan soal-soal UMPTN tahun sebelumnya setebal bantal membuat saya lebih percaya diri. Yakin bisa lulus. Haqqul yakin akan meninggalkan Kampus yang yang berlokasi di pinggir pantai Ulak Karang yang sudah sejak setahun belakangan menuju kampus baru di bebukitan Limau Manih, Universitas Andalas.

Sabtu kelabu yang kedua datang lagi. Dari koran yang sama, dengan tanggal dua hari lebih maju, bulan yang sama tahun 1996, nomor ujianku juga tidak ditemukan diantara ribuan nomor yang ditulis di halaman khusus untuk pengumuman hasil UMPTN. Dengan kekecewaan yang berlipat-ganda dari tahun sebelumnya.

Sejak itu nak, hingga hari ini, saya merasa manusia paling ”ele” setiap berhadapan dengan mereka yang kuliah di PTN atau alumni PTN, meski saya belum pernah mendengar nama PTN yang disebutkan.

Tak ada hal lain yang dapat saya lakukan selain menata hati dan memantapkan langkah untuk meneruskan “ketersesatan” .-meneruskan kuliah di pinggir pantai.

Anakku Alwi!

Perjalan hidup adalah rangkaian-rangkaian ”ketersesatan” yang telah termaktub di Lauhd Mahfudz. Tersesat itu bukan kekeliruan yang harus ditakuti. Jalan saja. Tersesat saja. Tak mengapa. Bukankah sebagian besar perjalanan hidup ini diawali karena tersesat. Ayah bersua dengan bundamu juga karena ”tersesat” di belantara Teknik Kimia. Toh, tidak mengapa, selalu ada bagian dari ”ketersesatan” yang mesti kita syukuri. Satu hal yang tak boleh tersesat adalah jalan kembali pulang kepada-Nya.

Begitulah nak! Dua kisah yang berbeda barangkali bisa kau ambil ibrohnya ; Alif Fikri seorang tamatan Pondok Madani Gontor berhasil menembus UMPTN dan Ayahmu, pelajar SMA yang dungu gagal.

****

Al Albana–Dua Kali Gagal UMPTN–Andaleh, 20 Rabbiul Awal 1440

2 tanggapan untuk “Ranah Tiga Warna Membangkitkan Luka Lama

  1. Roni dogol syarli 1 Desember 2018 — 4:52 pm

    Selamat bro Al, semoga alwialbana wordpress.com maju dan bermanfaat bg orang banyak..😎
    Pesan yg talambek utk si Al, cubo dulu ambil jurusan peternakan, mungkin Al ditarimo 😂🤣🤣

    Suka

    1. Kini tiok basobok jo alumni PTN ambo lansung maraso paliang dungu.
      Biarlah anak menuntaskan dendam ambo untuak kuliah di PTN.
      Salut ambo Dogol lai kuliah di Unand duo pulo lai, Bung Hatta tetap lanjut.

      Suka

Tinggalkan komentar