Perkembangan & Pemurnian Tasawuf

Bermacam-macam pendapat mengenai Tasawuf. Literatul awal Islam tidak mengenal Kosa Kata Tasawuf. Kata ini baru muncul pada abad kedua hijriah. Menurut ahli tarikh orang yang pertama kali dijuluki sufi adalah Abu Hasyim dari Kufah, meninggal 150 H.

Banyak pendapat tentang kata asal Tasawuf sendiri. Ada yang berpendapat Tasawuf berasal dari kata ‘shafw’ yang artinya bersih. Pendapat lain mengatakan Tasawuf berasal dari kata ‘shuffah’ yaitu sebuah kamar yang terletak di samping masjid Nabawi di zaman Rasulullah di Mandinah. Tempat ini disediakan untuk sahabat-sahabat nabi yang miskin, yang tidak punya apa-apa namun kuat imannya. Biaya hidup mereka yang sederhana ditanggunh oleh sahabat-sahabat yang mampu di Madinah. Beberapa sahabat utama tinggal di sini ; Abu Dzar Al Ghifari, Abu Dardak, Abu Hurairah dan lainnya.

Pendapat lain menyebut Tasawuf berasal dari kata ‘shaff’, yaitu barisan shaf ketika sholat. Sebab orang-orang yang kuat imanya, biasanya sholat berjamaah memilih shaf paling depan.

Ada pula yang berpendapat Tasawuf berakar dari kata ‘shaufanah’ yaitu sebangaa buah-buah kecil berbulu yang banyak tumbuh di jazirah Arab. Sebab pakaian kaum sufi biasanya terbuat dari bulu seperti buah itu.

Namun ilmuwan barat berpendapat kata Tasawuf diambil dari bahasa Yunani, yaitu ‘Theo’ dan ‘Sofos’. Theo artinya Tuhan, sedangkan Sofos artinya Hikmat. Jadi “Himat Ketuhanan”.

Begitu pula perkembangan dan pertumbuhan Tasawuf Islam banyak diwarnai kesalahpahaman, bahkan hingga hari ini. Ada yang menyebut Tasawuf Islam terpengaruh oleh ajaran Zuhud Nasrasi, Filsafat Yunani terutama Neo Platonisme yang pernah berkembang di Iskandariyah Mesir. Tak sedikit pula yang menuduh Tasawuf Islam diserap dari konsep Nirwana Budha dan kefanaan Hindu yang berkembang mulai dari Lembah Hindustan hingga Persia.

Kesalahpahaman inilah yang coba kupas oleh Buya Hamka. Buya tidak menafikan bahwa sebagian Tasawuf telah terjadi ‘sauk-manyauk’ dengan kebatinan di luar Islam. Pun demikian dengan beberapa ajarannya seperti ; Hulul, Kasyaf, Tajalli, al-Widhar’ul Munthalaqah, atau Wihdatul Wujud. Kesalahpaham bahkan sampai pada titik pertentangan yang sengit, terutama dengan kalangan fiqih. Sampai seorang tokij Tasawuf haru berakhir di tiang gantungan, Al Hallaj, Ibnu Arabi, Syekh Siti Jenar.

Ada yang keliru namun bukan berarti tidak ada yang lurus. Dasarnya Tasawuf dari tak diragukan lagi zuhud yang banyak dijelaskan dalam ayat-ayat Al Qur’an serta Hadist Rasulullah. Banyak pula tokoh Tasawuf yang tidak hanya diterima oleh kalangan Tasawuf saja tapi dapat diterima oleh kaum muslim pada umumnya seperi Imam Al Ghozali, Ibnu Sina, Al Farabi, Ibnu Rusyd dan banyak lainnya.

Melalui buku ini, Buya Hamka dengan keluasan dan pemahamannya yang utuh memberi kita cara pandang untuk melihat Tasawuf Islam secara utuh, seperti apa adanya.

Meskipun berasal dari Muhammadiyah yang menjaga jarak dengan Tasawuf, tapi Buya Hamka tidak ‘alergi’ terhadap tasawuf namun juga tidak membenarkan semua yang datang dari Tasawuf. Dalam buku Dari Perbendaharaan Lama, Hamka mendedahkan bagaimana dongeng-dongeng yang mengakar pada masyarakt Nusantara tentang keutamaan leluhur Raja-raja–ada yang membuat bahwa raja Melayu berasal dari keturunan Nabi Nuh, Iskandar Zulkarnaen–adalah karangan kaum sufi agar rakyat tidak membantah perintah dari Raja.

Buya Hamka juga menulis buku Tasawuf Modern. Bagi Saya Hamka seorang yang serius bertasawuf seserius belia mengkritik bagian Tasawuf yang menyimpang.

****

Al Albana, Padang, 27 Syawal 1440

Kategori Buku

Tinggalkan komentar