Dunia semakin reot dan renta karena termakan usia. Sehingga orang-orang yang pada dasarnya berhati baik merasa memanggul tanggung jawab untuk turut serta memperbaikinya. Oleh karena itu, orang-orang semakin semakin gemar menasehati (berceramah). Da’i-dai bermunculan seperti suara katak sehabis hujan. Hadist populer “ballighu anni wallaw aayat” ; Sampaikanlah walau pun-yang kamu tahu-satu ayat. Dipraktikan secepat-cepat. Mestinya jika tahu lebih dari satu ayat (tafsiran lain) seharusnya disampaikan juga. Jangan hanya tafsir yang sesuai dengan pemahaman sendiri.
Entah mulai terbiasa dengan ‘nasihat satu ayat’, atau memang bersamaan dengan semua ini, dunia terasa semakin bebal saja. Tanda-tanda tak bisa lagi dipahami. Metafora tak lagi berguna. Kiasan tak digunakan. Kata-kata bersayap tak bisa dimengerti. Sindiran terdengar seperti sapaan. Peribahasa tak lagi terpakai. Puisi disingkarkan oleh lirik vulgar. Lagu-lagu liris digusur oleh lirik-lirik mentah.
Jangan heran kalau kevulgaran terjadi dimana-mana, termasuk dari orang baik lagi gelisah yang selama ini bersembunyi di balik tembok tanda dan metafora. Kita kehilangan lirik-lirik lagu Dewa yang dulu ditulis Ahmad Dhani liris, romantis dan skeptis bermetamorfosis menjadi orasi yang terang-vulgar-optimis. Pun Sahabat-sahabat yang sejatinya sosok yang sopan dan santun dalam bertutur seakan orang asing di dunia yang beda (maya).
Segala hal disikapi dengan buru-buru. Tak ada waktu untuk mengendapkan. Semua bergegas walau tidak tahu entah kemana.